Thursday, May 21, 2015

PESAN PAUS FRANSISKUS PADA HARI KOMUNIKASI DUNIA KE 49 Keluarga Yang Berkomunikasi Tempat Istimewa untuk berjumpa dengan Karunia Cinta



Paus Fransiskus

Keluarga adalah subyek refleksi yang dilakukan oleh Gereja secara mendalam dan prosesnya melibatkan dua Sinode: asembli luar biasa yang dilaksankan baru-baru ini dan asembli biasa yang dijadwalkan pada Oktober mendatang. Jadi,  saya berpikir bahwa sangat tepat kalau tema untuk Hari Komunikasi Sedunia berikutnya haruslah mengacu pada keluarga. Bagaimanapun juga, hanya di dalam keluarga untuk pertama kalinya kita belajar bagaimana berkomunikasi. Dengan berfokus pada konteks ini,  kiranya cara kita berkomunikasi menjadi lebih otentik dan manusiawi, sambil membantu kita untuk menelisik keluarga dalam perspektif baru.

Kita bisa mengambil inspirasi dari ayat Injil yang berhubungan dengan kunjungan Maria kepada Elizabeth (Luk 1 : 39-56). "Ketika Elizabeth mendengar salam Maria, bayi melompat dalam rahimnya, dan Elizabeth, penuh dengan Roh Kudus berseru dengan suara nyaring dan berkata, "Terberkati engkau di antara wanita, dan terpujilah buah rahimmu." (ay . 41-42)

Episode pertama ini menunjukkan bagaimana komunikasi adalah sebuah dialog yang terkait dengan bahasa tubuh. Yang pertama menanggapi salam Maria yang diberikan oleh sang bayi, yang melompat kegirangan dalam rahim Elizabeth. Kegembiraan saat berjumpa orang lain, yang merupakan sesuatu yang kita pelajari bahkan sebelum lahir, adalah, di satu sisi, pola dasar dan simbol dari setiap bentuk komunikasi lainnya. Rahim, tempat kita semua pernah tinggal adalah "sekolah" pertama dimana kita belajar berkomunikasi, tempat mendengarkan dan merasakan kontak fisik dimana kita mulai membiasakan diri dengan dunia luar dalam lingkungan yang dilindungi, dengan suara yang meyakinkan dari detak jantung sang ibu. Pertemuan antara dua orang,  berhubungan erat sementara masih berbeda satu sama lain, sebuah pertemuan yang penuh janji, adalah pengalaman kita yang pertama dalam sebuah komunikasi. Ini adalah pengalaman yang kita semua alami, karena masing-masing kita lahir dari seorang ibu.

Bahkan setelah kita lahir ke dunia, dalam arti tertentu kita masih berada di dalam "rahim", yaitu keluarga. Sebuah rahim terdiri dari berbagai orang yang saling terkait: keluarga adalah "tempat dimana kita belajar untuk hidup dengan orang lain di tengah perbedaan-perbedaan" (Evangelii Gaudium, 66). Meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin dan usia di antara mereka, anggota keluarga menerima satu sama lain karena ada ikatan di antara mereka. Semakin lebar kisaran hubungan ini dan semakin besar perbedaan usia, maka akan semakin kaya lingkungan hidup kita. Ikatan ini merupakan akar dari bahasa, yang pada gilirannya memperkuat ikatan. Kita tidak menciptakan bahasa kita; kita dapat menggunakannya karena kita telah menerimanya. Hanya di dalam keluarga kita belajar berbicara "bahasa ibu", sebuah bahasa yang telah mendahului kita. (Lih. 2 Makabe 7: 25,27). Di dalam keluarga kita menyadari bahwa orang lain telah mendahului kita, mereka memungkinkan eksistensi kita, dan pada gilirannya kita dapat menghasilkan hidup dan melakukan sesuatu yang baik dan indah. Kita bisa memberi karena kita telah menerima. Lingkaran yang saleh ini adalah jantung dari kemampuan keluarga untuk berkomunikasi di antara para anggotanya dan dengan orang lain. Secara lebih umum, hal itu adalah model untuk semua komunikasi.

Pengalaman dari relasi ini yang "mendahului" kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latarbelakang dari bentuk yang paling dasar dari komunikasi, yaitu doa, diturunkan. Ketika orang tua menempatkan anak-anak mereka yang baru lahir untuk tidur, mereka sering mempercayakannya kepada Tuhan, meminta Tuhan mengawasi mereka. Ketika anak-anak sedikit lebih tua, orang tua membantu mereka untuk membaca beberapa doa sederhana, berpikir dengan kasih sayang dari orang lain, seperti kakek-nenek, saudara, orang sakit dan penderita, dan semua mereka yang membutuhkan bantuan Allah. Itu adalah keluarga kita yang sebagian besar dari kita belajar dimensi religius dari komunikasi, yang dalam konteks kekristenan meresap dengan cinta, cinta yang Allah limpahkan kepada kita dan yang kemudian kita tawarkan kepada orang lain.

Dalam keluarga, kita belajar untuk merangkul dan mendukung satu sama lain, untuk membedakan arti dari ekspresi wajah dan saat hening, tertawa dan menangis bersama-sama dengan orang-orang yang tidak menganggap yang lain menjadi begitu penting untuk satu sama lain. Hal ini sangat membantu kita untuk memahami arti komunikasi sebagai pengenalan dan medium yang menciptakan kedekatan. Ketika kita mengurangi jarak dengan tumbuh lebih dekat dan menerima satu sama lain, kita mengalami rasa syukur dan sukacita. Salam Maria dan kegirangan anaknya adalah berkat bagi Elizabeth; mereka diikuti oleh lagu gereja yang indah dari Magnificat, dimana Maria memuji rencana kasih Allah bagi dirinya dan bagi orang-orangnya.  "Ya" yang diucapkan dengan iman dapat memiliki efek melampaui diri kita dan tempat kita di dunia. "Mengunjungi" adalah untuk membuka pintu, bukan tetap tertutup di  dalam dunia kecil kita, melainkan menjumpai orang lain. Demikian juga keluarga menjadi hidup saat keluarga melampaui dirinya sendiri; keluarga yang sangat mengkomunikasikan pesan hidup dan persekutuan, memberikan kenyamanan dan pengharapan bagi keluarga lain yang lebih rapuh, dan dengan demikian membangun Gereja sendiri, yang merupakan keluarga dari keluarga.

Lebih dari tempat manapun, keluarga adalah tempat di mana kita mengalami keterbatasan diri kita sendiri dan keterbatasan orang lain setiap hari, serta masalah besar maupun kecil yang menjadi konsekuensi dalam menjalin keharmonisan hidup bersama. Sebuah keluarga yang sempurna tidak mungkin terjadi. Kita tidak perlu takut akan ketidaksempurnaan, kelemahan ataupun konflik, tetapi kita justru perlu belajar cara-cara untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut secara konstruktif. Keluarga, di mana kita tetap saling mengasihi satu sama lain dengan segala keterbatasan yang kita miliki dan kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, menjadi sebuah sekolah pengampunan. Pengampunan itu sendiri merupakan sebuah proses komunikasi. Ketika sikap penyesalan diungkapkan dan diterima, komunikasi yang terputus bisa diperbaiki dan dibangun kembali. Seorang anak yang belajar dari keluarganya untuk mendengarkan, untuk berbicara dengan sopan dan untuk mengungkapkan pendapatnya tanpa meremehkan pendapat orang lain, akan menjadi nara sumber yang sangat penting di dalam dialog dan rekonsiliasi dalam masyarakat.

Ketika berhadapan dengan tantangan yang ada dalam berkomunikasi, kita dapat belajar banyak dari keluarga-keluarga yang hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus (atau yang memiliki satu atau lebih keterbatasan). Keterbatasan motorik, sensorik atau mental, bisa menjadi alasan kita untuk bersikap menutup diri, tetapi berkat cinta yang dialaminya dari orang tua, saudara dan teman-temannya,  juga bisa menjadi sebuah insentif untuk menjalin keterbukaan, saling berbagi dan kesediaan untuk berkomunikasi dengan semua orang. Demikian juga sekolah, paroki maupun kelompok-kelompok lainnya dapat menjadi lebih terbuka dan bersikap inklusif terhadap siapa saja.

Di dalam dunia dimana orang seringkali bersumpah serapah, menggunakan bahasa yang tidak pantas, mengucapkan hal-hal yang buruk tentang orang lain, menabur ketidakharmonisan dan meracuni kehidupan manusia dengan gosip, keluarga bisa mengajari kita untuk memahami komunikasi sebagai sebuah berkat. Di tengah situasi yang memberi kesan seperti didominasi oleh kebencian dan kekerasan,  dimana keluarga-keluarga dipisahkan oleh dinding-dinding batu atau dinding-dinding yang tak kalah kuatnya seperti praduga dan kebencian, ketika seakan-akan terdapat alasan yang kuat untuk berkata “cukup”, hanya dengan mengucapkan kata-kata berkat, bukan kutukan, dengan mengunjungi daripada menolak, dan dengan menerima daripada melawan, kita akan menghalau roh jahat, menunjukkan bahwa kebaikan dapat selalu terjadi, dan mendidik anak-anak kita untuk belajar hidup di dalam persaudaraan.

 Saat ini, media modern yang menjadi bagian penting dalam kehidupan orang muda khususnya, bisa menjadi sarana yang membantu sekaligus menghambat komunikasi di dalam dan antar keluarga. Sarana media bisa menghambat komunikasi jika menjadi suatu cara untuk menghindari sikap mendengarkan, perjumpaan langsung, mengisi setiap waktu yang seharusnya menjadi waktu hening dan beristirahat, sampai-sampai kita lupa bahwa “keheningan adalah bagian integral dari komunikasi; tanpa keheningan, tidak mungkin terdapat kata-kata yang kaya akan makna.” (Benedict XVI, Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia tahun 2012). Sarana media bisa membantu komunikasi ketika media membantu orang untuk  membagikan pengalamannya, menjalin hubungan dengan teman-teman yang tinggal berjauhan, untuk mengucapkan terima kasih atau permohonan maaf, dan membuka pintu bagi perjumpaan-perjumpaan baru. Jika setiap hari kita semakin menyadari  pentingnya perjumpaan kita dengan orang lain, yang selalu menghadirkan “kemungkinan-kemungkinan baru”, kita akan menggunakan sarana teknologi dengan bijaksana,  tanpa membiarkan diri diperbudak oleh teknologi tersebut. Di sinilah orang tua berperan sebagai pendidik utama, tetapi mereka juga tidak mungkin dibiarkan sendirian begitu saja. Komunitas Kristen dipanggil untuk membantu para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka agar hidup di dalam lingkungan media dengan cara-cara yang sepadan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pelayanan bagi kebaikan bersama.

Tantangan besar yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana kita belajar, sekali lagi, untuk berbicara dengan satu sama lain, bukan sekedar menghasilkan dan mengkonsumsi informasi. Mengkonsumsi informasi menjadi tendensi yang dihasilkan oleh media komunikasi modern yang memiliki peran penting dan sangat mempengaruhi kehidupan kita.  Informasi adalah hal yang penting, tetapi itu saja tidaklah cukup. Seringkali suatu hal atau peristiwa disepelekan dari kenyataan yang sebenarnya, pendapat dan pandangan-pandangan berbeda diadu satu sama lain, dan orang diundang untuk mengambil posisi sepihak, daripada untuk melihat kenyataan yang terjadi secara keseluruhan.

Sebagai kesimpulan, keluarga bukanlah suatu tempat berdebat atau medan pertarungan ideologi. Melainkan, keluarga adalah tempat yang di dalamnya kita belajar berkomunikasi di dalam sebuah pengalaman keakraban, sebuah tempat yang mendukung terjadinya komunikasi, sebuah “komunitas yang berkomunikasi”. Keluarga adalah sebuah komunitas yang menyediakan bantuan, merayakan kehidupan dan menghasilkan buah. Jika kita menyadari akan hal ini, kita akan dapat melihat kembali bagaimana keluarga terus menjadi sumber kekayaan dalam kehidupan manusia, bukan menjadi suatu masalah atau suatu institusi yang mengalami krisis. Kadangkala media cenderung menampilkan keluarga sebagai sebuah model abstrak yang harus diterima atau ditolak, dilindungi atau diserang, daripada menampilkannya sebagai sebuah realitas yang nyata. Selain itu, media kadang menampilkan keluarga sebagai medan pertarungan ideologi daripada sebuah tempat dimana kita semua dapat belajar apa artinya berkomunikasi dalam hubungan cinta kasih yang timbal balik. Menjalin hubungan berdasarkan pengalaman pribadi yang kita alami berarti menyadari bahwa hidup kita saling berkaitan sebagai realitas yang utuh, bahwa suara kita berbeda-beda dan setiap orang memiliki keunikan.
Keluarga sepatutnya dilihat sebagai sebuah sumber kekayaan, bukan sebuah masalah bagi kehidupan masyarakat. Pada keadaan terbaiknya, keluarga dengan kesaksian dirinya mengkomunikasikan secara aktif keindahan dan kekayaan yang terdapat dalam relasi antara pria dan wanita, serta relasi antara orang tua dengan anak-anak. Kita tidak berusaha mengubah keadaan dengan bernostalgia. Yang kita upayakan, dengan kesabaran dan keyakinan, adalah membangun masa depan yang lebih baik bagi dunia tempat kehidupan kita. (diterjemahkan oleh Pe. Kasmir Nema, SVD)
Vatikan, 23 Januari 2015.
Doa malam menjelang Memorial St. Francis de Sales.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.